Kamis, 27 Maret 2014

Analisis Gaya Bahasa Pada Puisi 'Lagu Biasa' karya Chairil Anwar

Puisi

LAGU BIASA



Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana…

(Chairil Anwar,1943)

Kamis, 20 Maret 2014

afiksasi verba

Pembentukan Kata-kata Bahasa Indonesia



Ada banyak ragam pembentukan kata dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Untuk memahami cara pembentukan kata-kata tersebut kita sebaiknya mengetahui lebih dahulu beberapa konsep dasar dan istilah seperti yang dijelaskan di bawah ini. Untuk mempersingkat dan memperjelas  pembahasannya, kami menggunakan kata-kata yang tidak bersifat gramatikal atau teknis untuk menjelaskan kata-kata tersebut sebanyak mungkin. Kami tidak membahas tentang infiks (sisipan yang jarang digunakan), reduplikasi dan kata-kata majemuk yang berafiks.

Definisi Istilah
kata dasar (akar kata) = kata yang paling sederhana yang belum memiliki imbuhan, juga dapat dikelompokkan sebagai bentuk asal (tunggal) dan bentuk dasar (kompleks), tetapi perbedaan kedua bentuk ini tidak dibahas di sini.

afiks (imbuhan) = satuan terikat (seperangkat huruf tertentu) yang apabila ditambahkan pada kata dasar akan mengubah makna dan membentuk kata baru. Afiks tidak dapat berdiri sendiri dan harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar. Istilah afiks termasuk prefiks, sufiks dan konfiks.

prefiks (awalan) = afiks (imbuhan) yang melekat di depan kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.

sufiks (akhiran) = afiks (imbuhan) yang melekat di belakang kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.

konfiks (sirkumfiks / simulfiks) = secara simultan (bersamaan), satu afiks melekat di depan kata dasar dan satu afiks melekat di belakang kata dasar yang bersama-sama mendukung satu fungsi.

kata turunan (kata jadian) = kata baru yang diturunkan dari kata dasar yang mendapat imbuhan.

keluarga kata dasar = kelompok kata turunan yang semuanya berasal dari satu kata dasar dan memiliki afiks yang berbeda.


Afiks Bahasa Indonesia yang Umum
prefiks:  ber-, di-, ke-, me-, meng-, mem-, meny-, pe-, pem-, peng-, peny-, per-, se-, ter-
sufiks:  -an, -kan, -i, -pun, -lah, -kah, -nya
konfiks:  ke - an, ber - an, pe - an, peng - an, peny - an, pem - an, per - an, se - nya



Penggunaan Afiks
Mempelajari proses pembentukan kata-kata dan metode pembubuhan afiks merupakan kunci untuk memahami makna kata-kata turunan dan belajar membaca teks Bahasa Indonesia. Sebagian besar kata yang terdapat dalam surat kabar dan majalah Indonesia berafiks. Jika seseorang mengerti makna kata dasar, ia dapat mengerti makna sebagian besar kata yang berasal (diturunkan) dari kata dasar itu dengan menggunakan kaidah umum untuk masing-masing jenis afiks.
                Jika kita dapat menerima sedikit kekeliruan dalam penggunaan afiks, kita dapat menyederhanakan pembahasan tentang afiks (imbuhan). Dalam mengklasifikasikan jenis kata (nomina, verba, adjektiva, dan lain-lain) kami menggunakan kaidah pengklasifikasian kata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua - 1991) yang disusun dan diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Penjelasan di bawah adalah untuk menguraikan hasil penambahan afiks (imbuhan) kepada kata dasar, bukan untuk menjelaskan bilamana afiks digunakan. Dalam kamus ini tidak diuraikan tentang asal kata dasar (etimologi). Perlu diperhatikan bahwa penjelasan di bawah ini lebih berhubungan dengan perbuatan (aksi) dalam suatu kalimat - siapa yang melakukan aksi itu, hasil perbuatan, arah perbuatan atau tindakan dan apakah tindakan itu merupakan fokus utama dalam kalimat atau bukan.

Frekuensi Penggunaan Afiks
                Dalam kamus ini terdapat 38.308 entri (tidak termasuk singkatan, akronim dan entri kata majemuk) dimana 22.022 berafiks dan 16.286 tidak berafiks. Menurut persentase, 57% berafiks dan 43% tidak. Dengan kata lain, untuk tiap 9 entri dalam kamus ini, 5 kata berafiks dan 4 kata lainnya tidak.
                Pada tahun 1998, secara tidak formal, kami menganalisis 10.000 kata Bahasa Indonesia dari terbitan yang umum di Indonesia. Dari 10.000 kata tersebut, terdapat 2.887 atau kira-kira 29% kata berafiks dan 7.113 atau 71% tidak. Dengan kata lain, untuk tiap 100 kata di surat kabar atau majalah, Anda mungkin dapat menemukan 29 kata yang berafiks dan 71 kata tidak berafiks. Tingkat penggunaan masing-masing afiks diuraikan di bawah ini.

Aplikasi Afiks
ber- : menambah prefiks ini membentuk verba (kata kerja) yang sering kali mengandung arti (makna) mempunyai atau memiliki sesuatu. Juga dapat menunjukkan keadaan atau kondisi atribut tertentu. Penggunaan prefiks ini lebih aktif berarti mempergunakan atau mengerjakan sesuatu. Fungsi utama prefiks "ber-" adalah untuk menunjukkan bahwa subyek kalimat merupakan orang atau sesuatu yang mengalami perbuatan dalam kalimat itu. Banyak verba dengan afiks "ber-" mempunyai kata yang sama dengan bentuk adjektiva dalam Bahasa Inggris. Sekitar satu dari tiap 44 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.

me-, meng-, menge-, meny, mem-: menambah salah satu dari prefiks ini membentuk verba yang sering kali menunjukkan tindakan aktif di mana fokus utama dalam kalimat adalah pelaku, bukan tindakan atau obyek tindakan itu. Jenis prefiks ini sering kali mempunyai arti mengerjakan, menghasilkan, melakukan atau menjadi sesuatu. Prefiks ini yang paling umum digunakan dan sekitar satu dari tiap 13 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki salah satu dari prefiks ini.

di- : Prefiks ini mempunyai pertalian yang sangat erat dengan prefiks "me-." Prefiks "me-" menunjukkan tindakan aktif sedangkan prefiks "di-" menunjukkan tindakan pasif, di mana tindakan atau obyek tindakan adalah fokus utama dalam kalimat itu, dan bukan pelaku. Sekitar satu dari tiap 40 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.

pe- : Prefiks ini membentuk nomina yang menunjukkan orang atau agen yang melakukan perbuatan dalam kalimat. Kata dengan prefiks ini juga bisa memiliki makna alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasarnya. Apabila kata dasarnya berupa kata sifat, maka kata yang dibentuk dengan prefiks ini memiliki sifat atau karakteristik kata dasarnya. Sekitar satu dari tiap 110 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.

ter- : Sekitar satu dari tiap 54 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki prefiks ini. Penambahan afiks ini menimbulkan dua kemungkinan.
(1) Jika menambahkan ke kata dasar adjektif, biasanya menghasilkan adjektif yang menyatakan tingkat atau kondisi paling tinggi (ekstrim) atau superlatif. (misalnya: paling besar, paling tinggi, paling baru, paling murah)
(2) Jika menambahkan ke kata dasar yang bukan adjektif, umumnya menghasilkan verba yang menyatakan aspek perfektif, yaitu suatu perbuatan yang telah selesai dikerjakan. Afiks ini juga bisa menunjukkan perbuatan spontanitas, yaitu suatu perbuatan yang terjadi secara tiba-tiba atau tidak disengaja (misalnya aksi oleh pelaku yang tidak disebutkan, pelaku tidak mendapat perhatian atau tindakan natural). Fokus dalam kalimat adalah kondisi resultan tindakan itu dan tidak memfokuskan pada pelaku perbuatan atau bagaimana kondisi resultan itu tercapai.

se-: menambah prefiks ini dapat menghasilkan beberapa jenis kata. Prefiks ini sering dianggap sebagai pengganti “satu” dalam situasi tertentu. Sekitar satu dari tiap 42 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.  Penggunaan paling umum dari prefiks ini adalah sebagai berikut:
1. untuk menyatakan satu benda, satuan atau kesatuan (seperti “a” atau “the” dalam Bahasa Inggris)
2. untuk menyatakan seluruh atau segenap
3. untuk menyatakan keseragaman, kesamaan atau kemiripan
4. untuk menyatakan tindakan dalam waktu yang sama atau menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu

-an : menambah sufiks ini biasanya menghasilkan kata benda yang menunjukkan hasil suatu perbuatan. Sufiks ini pun dapat menunjukkan tempat, alat, instrumen, pesawat, dan sebagainya. Sekitar satu dari tiap 34 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki sufiks ini.

-i : menambah sufiks ini akan menghasilkan verba yang menunjukkan perulangan, pemberian sesuatu atau menyebabkan sesuatu. Sufiks ini sering digunakan untuk memindahkan perbuatan kepada suatu tempat atau obyek tak langsung dalam kalimat yang mana tetap dan tidak mendapat pengaruh dari perbuatan tersebut    . Sufiks ini pun menunjukkan di mana dan kepada siapa tindakan itu ditujukan. Sekitar satu dari tiap 70 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki sufiks ini.

-kan: menambah sufiks ini akan menghasilkan kata kerja yang menunjukkan penyebab, proses pembuatan atau timbulnya suatu kejadian. Fungsi utamanya yaitu untuk memindahkan perbuatan verba ke bagian lain dalam kalimat. Sekitar satu dari tiap 20 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki sufiks ini.

-kah :  menambah sufiks ini menunjukkan bahwa sebuah ucapan merupakan pertanyaan dan sufiks ini ditambahkan kepada kata yang merupakan fokus pertanyaan dalam kalimat. Sufiks ini jarang digunakan.

-lah : sufiks ini memiliki penggunaan yang berbeda dan membingungkan, tetapi secara singkat dapat dikatakan bahwa sufiks ini sering digunakan untuk memperhalus perintah, untuk menunjukkan kesopanan atau menekankan ekspresi. Hanya sekitar satu dari tiap 400 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki sufiks ini.

ke-an : Konfiks ini yang paling umum digunakan dan sekitar satu dari tiap 65 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki konfiks ini. Konfiks ini adalah untuk:
  1. membentuk nomina yang menyatakan hasil perbuatan atau keadaan dalam pengertian umum yang menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan kata dasar
  2. membentuk nomina yang menunjuk kepada tempat atau asal
  3. membentuk adjektif yang menyatakan keadaan berlebihan
  4. membentuk verba yang menyatakan kejadian yang kebetulan
.
pe-an, peng-an, peny-an, pem-an : penggunaan salah satu dari keempat konfiks ini biasanya menghasilkan suatu nomina yang menunjukkan proses berlangsungnya perbuatan yang ditunjuk oleh verba dalam kalimat. Sekitar satu dari tiap 75 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki konfiks ini.

per-an : menambah konfiks ini akan menghasilkan sebuah nomina yang menunjukkan hasil suatu perbuatan (bukan prosesnya) dan dapat juga menunjukkan tempat. Artinya sering menunjuk kepada suatu keadaan yang ditunjuk oleh kata dasar atau hasil perbuatan verba dalam kalimat. Keadaan ini mirip dengan yang diperoleh dengan menggunakan konfiks “ke-an”, tetapi biasanya kurang umum dan lebih konkrit atau spesifik. Sekitar satu dari tiap 108 kata yang tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki konfiks ini.

se - nya : Konfiks ini seringkali muncul bersama-sama dengan kata dasar tunggal atau kata dasar ulangan untuk membentuk adverbia yang menunjukkan suatu keadaan tertinggi yang dapat dicapai oleh perbuatan kata kerja (misalnya: setinggi-tingginya = setinggi mungkin).

-nya : Ada penggunaan “-nya” sebagai sufiks murni yang mengubah arti kata dasarnya, tetapi hal ini merupakan konsep yang agak rumit dan kurang umum dan tidak dibahas di sini.  contoh: biasanya = usually; rupanya = apparently

-nya, -ku, -mu: satuan-satuan ini bukan merupakan afiks murni dan semuanya tidak dimasukkan sebagai entri dalam kamus ini. Pada umumnya satuan-satuan ini dianggap sebagai kata ganti yang menyatakan kepemilikan yang digabungkan dengan kata dasar yang mana tidak mengubah arti kata dasar. Misalnya, kata “bukuku” = buku saya, “bukumu” = buku Anda, “bukunya” = buku dia atau buku mereka. Selain sebagai kata ganti yang menyatakan kepemilikan, satuan “-nya” pun dapat memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu. Misalnya, “bukunya” berarti “buku itu”, bila “-nya” berfungsi sebagai penunjuk.
Penggunaan “-nya” baik sebagai kata ganti maupun penunjuk (bukan sebagai sufiks murni) adalah sangat umum dan sekitar satu dari tiap 14 kata tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki satuan ini. Penggunaan “-ku” dan “-mu” bervariasi sesuai dengan jenis tulisan. Dua jenis kata ganti ini sangat umum digunakan dalam komik, cerpen dan tulisan tidak resmi lainnya, dan jarang digunakan dalam tulisan yang lebih formal seperti surat kabar dan majalah berita

Rabu, 19 Maret 2014

JENIS-JENIS MAKNA (SEMANTIK)


JENIS-JENIS MAKNA (SEMANTIK)
Maaf yaa sumbernyaa lupa:-) :-)



BAB I
PENDAHULUAN

Kajian makna kata dalam suatu bahasa tertentu menurut sistem penggolongan semantik adalah cabang linguistik yang bertugas semata-mata untuk meneliti makna kata, sebagaimana asal mulanya, bahkan bagaimana perkembangannya, dan apa sebab-sebabnya terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Banyak bidang ilmu lain yang mempunyai sangkut-paut dengan semantik, oleh sebab itu makna memegang peranan tergantung dalam pemakaian bahasa sebagai alat untuk penyampaian pengalaman jiwa, pikiran dan maksud dalam masyarakat. Bidang semantik terbatas pada usaha memperhatikan dan mengkaji proses transposisi makna kata dalam pemakaian bahasa.
Ullman (1972) berpendapat,´Apabila seseorang memikirkan maksud suatu perkataan, sekaligus memikirkan rujukannya atau sebaliknya. Hubungan antara dua hal antara maksud dengan perkataan itulah lahir makna, oleh karena itu walaupun rujukan tetap, akan tetapi makna dan perkataan dapat berbeda.[1] Dari begitu kompleknya pembahasan makna dalam semantik, pemakalah hanya akan membahas salah satu bagian penting dari pembahasan makna yaitu jenis-jenis makna.


BAB II
JENIS-JENIS MAKNA
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan oleh orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik. Banyak orang mengira bahwa makna cukup dengan menjelaskan sebuah kalimat atau kata. Para ilmuan telah membedakan antara jenis-jenis makna dengan menjelaskannya terlebih dahulu daripada batasan-batasan makna suatu kalimat.
A.      Jenis-jenis Makna Menurut Muhammad Mukhtar Umar
Dr. Muhammad Muhktar ‘Umar telah mengklasifikasikan jenis-jenis makna ke dalam lima jenis di antaranya sebagai berikut:[2]
1.        Makna Dasar/Asasi (المعنى الأساسى). Makna ini sering disebut juga sebagai makna awal (المعنى الأولى), atau makna utama (المعنى المركزى), makna gambaran (المعنى التصورى), atau makna pemahaman/conceptual meaning (المعنى المفهومى), dan makna kognitif (المعنى الإدراكي). Makna ini merupakan makna pokok dari suatu bahasa. Contohnya kata  “wanita” memiliki makna konseptual  “manusia, bukan laki-laki, baligh (dewasa)”.
2.        Makna Tambahan (المعنى الإضافي أو العرضي أو الثانوي أو التضمني), yaitu makna yang ada di luar makna dasarnya. Makna ini dapat dikatakan sebagai makna tambahan dari makna dasar namun makna ini tidak tetap dan perubahannya menyesuaikan dengan waktu dan kebudayaan pengguna bahasa.
Contohnya kata “wanita” yang memiliki makna dasar “manusia bukan lelaki yang dewasa”. Jika kata ini ditambahi dengan makna tambahan, maka banyak sekali makna yang akan timbul dari kata tersebut. Misalnya  jika kata “wanita” dimaknai oleh sebuah kelompok dengan “makhluk yang pandai memasak dan suka berdandan”, maka inilah makna tambahan yang keluar dari kata “wanita” tersebut. Atau jika “wanita” dimaknai dengan “makhluk yang lembut perasaannya, labil jiwanya, dan emosional”. Kedua makna tambahan ini tidak berlaku tetap sebagai makna tambahan dari kata “wanita”. Apabila suatu kelompok pada zaman tertentu menggunakannya maka makna tambahan itu masih berlaku. Namun jika makna itu sudah tidak dipakai lagi, maka makna tambahan itu tidak berlaku.
3.        Makna Gaya Bahasa/Style (المعنى الإسلوبي), yaitu makna yang lahir karena penggunaan bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dapat dilihat dalam bahasa sastra, bahasa resmi, bahasa pergaulan, dan lain sebagainya. Perbedaan penggunaan bahasa menimbulkan gaya yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam bahasa sastra sendiri memiliki perbedaan gaya bahasa seperti gaya bahasa puisi, natsr, khutbah, kitabah, dan lain sebagainya.
Kata daddy digunakan untuk panggilan mesra kepada sang ayah, sedangkan father digunakan sebagai panggilan hormat dan sopan kepada sang ayah. Kedua kata ini ternyata berpengaruh terhadap penggunaan bahasa yang bermakna ‘ayah’ dalam bahasa Arab. Kata الولد  – والدي  digunakan sebagai bahasa sopan dan hormat.
4.        Makna Nafsi (المعنى النفسي) atau makna objektif, yaitu makna yang lahir dari suatu lafadz atau kata sebagai makna tunggal.
5.      Makna Ihaa’i (المعنى الإيحائي), yaitu jenis makna yang berkaitan dengan unsur lafadz atau kata tertentu dipandang dari penggunaannya. Dalam makna ini memiliki tiga pengaruh di antaranya sebagai berikut:
1.      Pengaruh suara (fonetis), contohnya seperti suara-suara hewan yang menunjuk langsung pada hewan itu.
2.      Pengaruh perubahan kata (sharfiyah) berupa akronim atau singkatan. Contohnya  بسمله  singkatan dari بسم الله الرحمن الرحيم.
3.      Pengaruh makna kiasan yang digunakan dalam ungkapan atau peribahasa.
B.       Jenis-jenis Makna Menurut Geoffrey Leech
Menurut Geoffrey Leech (1976), jenis-jenis makna itu mencakup:[3]

1.      Makna Konotatif
Makna konotatif adalah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan. Dalam makna konotatif terdapat makna konotatif positif dan negatif. Contoh: kata wanita dan perempuan, wanita termasuk ke dalam konotatif posif sedangkan kata perempuan mengandung makna konotatif negatif.
2.      Makna Stilistik
Makna stilistika ini berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Contoh: rumah, pondok, istana, keraton, kediaman, tempat tinggal, dan residensi.
3.      Makna Afektif
Makna afektif adalah makna yang berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif akan lebih nyata ketika digunakan dalam bahasa lisan. Contoh: ”tutup mulut kalian !” bentaknya kepada kami. Kata tersebut akan terdengar kasar bagi pendengarnya.
4.      Makna Refleksi
Makna refleksi adalah makna yang muncul oleh penutur pada saat merespon apa yang dia lihat. Contoh: kata aduh, oh, ah, wah, amboi, astaga,
5.      Makna Kolokatif
Makna kolokatif adalah makna yang berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Jadi makna kolokatif harus sepadan dan pada tempatnya. Contoh: kata tampan identik dengan laki-laki, kata gadis identik dengan cantik.
6.        Makna Konseptual
Makna Konseptual, yaitu makna yang menekankan pada makna logis. Kadang-kadang makna ini disebut makna ‘denotatif’ atau ‘koginitif’. Makna konseptual memiliki susunan yang amat kompleks dan rumit, namun dapat dibandingkan dan dihubungkan dengan susunan yang serupa pada tingkatan fonologis maupun sintaksis.
7.        Makna Tematik
Makna Tematik, yaitu makna yang dikomunikasikan menurut cara penutur atau penulis menata pesannya, dalam arti urutan, fokus dan penekanan. Nilai komunikatif itu juga dipengaruhi oleh penggunaan kalimat aktif dan kalimat pasif. Contohnya sebagai berikut:
Apakah yang diajarkan oleh dosen itu? Dan
Oleh siapakah semantik diajarkan?
Kalimat yang pertama ingin lebih mengetahui objeknya, sedangkan kalimat kedua lebih menekankan siapakah subjeknya.
C.      Jenis-jenis Makna Menurut Abdul Chaer
Abdul Chaer berpendapat bahwa jenis-jenis makna itu terbagi menjadi beberapa jenis makna, yaitu:[4]


1.        Makna Leksikal
            Makna leksikal adalah makna sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa adanya dan makna yang ada dalam kamus. Maksud makna dalam kamus adalah makna dasar atau makna yang konret. Misalnya leksem “Kuda” memiliki makna sejenis binatang.
2.      Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang terjadi setelah proses gramatikal (Afikasi, Reduplikasi, Kalimatisasi).
 Perbedaan dari makna leksikal dan gramatikal adalah Makna leksikal adalah makna dasar/makna dari kata per kata, sedangkan makna gramatikal adalah makna baru yang muncul ketika kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat.
Contoh: kata “kuda” bermakna leksikal binatang sedangkan makna gramatikalnya bisa menjadi alat transportasi atau sejenis. Contoh, Saya berangkat ke pasar dengan kuda.
3.      Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah laksem atau kata yang berada didalam suatu konteks.
Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat berikut :
a.       Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b.      Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c.       Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.


4.        Makna Referensial
            Makna referensial adalah sebuah kata yang memiliki referensnya/acuannya. Sehingga sebuah kata dapat disebut bermakna referensial kalau ada referensinya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata.
5.      Makna Non-referensial
Makna non-referensial adalah kata yang tidak mempunyai acuan dalam dunia nyata. Contohnya kata dan, atau, dan karena. Kata-kata tersebut tidak mempunyai acuan dalam dunia nyata.
6.      Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Umpamanya, kata “Kurus”  (bermakna denotatif yang mana artinya keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal). Kata “Bunga”( bermakna denotatitif yaitu bunga yang seperti kita lihat di taman).
7.      Makna Konotatif
Makna konotatif adalah makna yang lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari seseorang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata “Kurus” pada contoh di atas berkonotasi netral. Tetapi kata “Ramping”, yaitu sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif yaitu nilai yang mengenakkan ; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata “Kerempeng”, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping, mempunyai konotasi negatif, nilai rasa yang tidak enak, orang akan tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
8.      Makna Konseptual
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari Konteks atau asosiasi apa pun. Kata “Kuda” memiliki makna konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”, dan kata “Rumah” memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”.
9.      Makna Asosiatif
Makna asosiasi adalah makna kata yang berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian, kata merah berasosiasi berani, kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan. Makna asosiasi ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal tersebut.
10.  Makna Kata
Makna kata adalah makna yang bersifatumum, kasar dan tidak jelas. Kata “Tangan” dan “Lengan” sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti contoh berikut:
a.  Tangannya luka kena pecahan kaca.
b.  Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama.
11.  Makna Istilah
Makna istilah adalah makna yang pasti, jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat dan perlu diingat bahwa makna istilah hanya dipakai pada bidang keilmuan/kegiatan tertentu saja. Umpamanya, kata “Tangan” dan “Lengan” yang menjadi contoh di atas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. “Tangan” bermakna “bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan”. Sedangkan kata “Lengan” adalah “bagian dari pergelangan tangan sampai ke pangkal bahu”. Jadi kata “Tangan” dan “Lengan” sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
12.  Makna Idiom
Makna idiom adalah makna yang tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Contoh, secara gramatikal bentuk “Menjual rumah” bermakna “yang menjual menerima uang dan yang membelimenerima rumahnya”, tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk “Menjual gigi” tidak memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi makna tersebutlah yang disebut makna idiomatik.
13.  Makna Peribahasa
Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa “Seperti anjing dan kucing yang bermakna ihwal dua orang yang tidak  pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersuara memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.


BAB III
KESIMPULAN
Makna bahasa itu bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena bahasa digunakan dalam berbagai kegiatan dan keperluan manusia dalam melakukan interaksi sosial. Sehingga melahirkan berbagai konsep tentang jenis-jenis makna yang mencakup makna dasar, tambahan, gaya bahasa, nafsi, ihaa’i, konotatif, stilistika, afektif, refleksi, koloaktif, konseptual, tematik, leksikal, gramatikal, kontekstual, referensial, non-referensial, denotatif, konotatif, asosiatif, makana kata, makna istilah, idiom, dan peribahasa.




DAFTAR PUSTAKA
Fauziah, Perubahan Makna Leksikal Kata Kerja Bahasa Indonesia Dari Bahasa Arab. USU, Medan, 2006.
http://iwardany.wordpress.com/2012/01/13/jenis-jenis-makna-menurut-geoffrey-leech/
Umar, Muhammad Mukhtar, Ilmu Al-Dilalah.

MEDAN MAKNA (SEMANTIK)


Medan Makna (semantik)
maaf ya sayaa luppa sumbernyaa:-) :-) :-)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,  sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Madan Makna”. Shalawat beriring salam penulis haturkan atas junjungan Nabi Besar Muhammad Saw, yang berjasa besar dalam membangun akhlak manusia. Sehingga menjadi manusia yang beradab dan berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
            Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas kelompok dan untuk menambah pengetahuan tentang semantik bahasa Indonesia, terutama dalam pengenalan “Medan Makna”. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.       Ibu Roziah., S.Pd., M.A selaku dosen pembimbing  yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran demi memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
2.      Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta selalu mendoakan penulis, sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3.      Teman-teman yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian makalah ini
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam  penyempurnaan makalah ini. Namun jika masih terdapat kesalahan, penulis mohon maaf. Penulis menerima kritik dan saran dari pembaca sebagai penyempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, 27 Pebruari 2013

Kelompok II


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................          i
DAFTAR ISI...............................................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................           1
1.5 Tujuan Penulisan.......................................................................              1
1.6 Manfaat Penulisan.....................................................................             2
BAB II PEMBAHASAN MEDAN MAKNA
2.1 Medan Makna.............................................................................            3
2.2 Jangkauan Makna.......................................................................            3
2.3 Medan Makna Dalam Masoer Pateda.........................................            4
2.4 Teori Medan Makna...................................................................             6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................           8
3.2 Saran............................................................................................           8
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................          9





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
          Sebagai salah satu komponen bahasa semantik merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dilepaskan dari linguistik. Tanpa membicarakan makna pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu, tidak terlepas  dari upaya untuk menyampaikan  makna-makna yang terkandung dalam bahasa. Kajian makna sebagai objek dalam bidang semantik memang sangat rumit persoalannya, karena bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa saja tetapi juga merambah  ke dalam persoalan di luar bahasa. Faktor-faktor lluar bahasa seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya norma dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut meruetkan persoalan semantik.
          Dalam makalah ini akan memaparkan bagian dari semantik, namun hanya dibatasi pada persoalan medan makna. Dari rumitnya persoalan mengenai masalah dari semantik ini, maka muncullah berbagai macam ilmu yang menelaah tentang semantik yang khusus maknanya dipengaruhi oleh budaya. Berbagai macam realitas kehidupan, budaya sangat mempengaruhi bahasa seseorang. Bahasa dan kebudayaan berkaitan erat, karena berbagai macam bahasa yang ada dinusantara terlahir dari berbagai macam budaya pula. Sehingga berbagai macam pula bahasa yang muncul dan memerlukan telaah yang lebih mendalam lagi terhadap bahasa yang dipengaruhi oleh hal-hal diluar bahasa itu sendiri.
1.2  Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul “Medan Makna” adalah agar pembaca mengetahui apa apa saja yang terdapat didalam bidang semantik terutama di dalam pengenalan “Medan Makna”.
 1.6 Manfaat Penulisan
            Manfaat dari penulisan makalah ini adalah memberikan pengetahuan yang lebih dalam bidang Semantik, baik manfaat praktis maupun teoretis. Manfaat praktisnya, penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengkajian dalam bidang semantik. Sedangkan manfaat teoretisnya  penulisan makalah  ini diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu bahasa, linguistik, khususnya semantik. Dalam penulisan makalah ini diharapkan juga akan menimbulkan inspirasi bagi peminat bahasa untuk meneliti lebih lanjut mengenai medan makna.



BAB II
PEMBAHASAN
2 .1 Medan Makna
Pengertian  dari medan makna adalah salah satu kajian utama dalam semantik. Medan makna merupakan bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Di dalam medan makna, suatu kata terbentuk oleh relasi makna kata tersebut dengan kata lain yang terdapat dalam medan makna itu. Sebuah medan makna, menurut Trier (1934), dapat diibaratkan sebagai mosaik. Jika makna satu kata bergeser, makna kata lain dalam medan makna tersebut juga akan berubah (Trier, dalam Lehrer, 1974:16)
Harimurti 1982 dalam Abdul Chaer (2009:110)  menyatakan bahwa “medan makna (semantic field), semantic domain) adalah bagian dari system semantic bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan” . Umpamanya, nama  istilah perkerabatan.
            Nama-nama istilah perkerabatan di Indonesia adalah anak, cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi, saudara, kakak, adik sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu, dan besan. Kiranya istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia masih belum lengkap. Kita masih belum punya istilah untuk hubungan antara ego, misalnya, dengan ; (1)anak dari kemenakan, (2)anak dari sepupu, (3) anak yang besan dari yang bukan menantu, (4) anak dari moyang, (5) anak dari piut, dan sebagainya. Apalagi pembedaan istilah untuk paman dan bibi dari pihak ibu dan pihak ayah.
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolakasi dan golongan set,

2.1.1 Kolokasi
Kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yang  berarti ada ditempat yang sama dengan ) menunjuk epada hubungan sintagmatikyang terjadi antara kata-kata unsure-unsur leksikal itu. Misalnya Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya, kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolakasi; satu tempat atau lingkungan. Jadi, kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada bersama dalam satu tempat atau satu lingkungan.
2.1.2 Set
Set menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan setiap unsur leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Misalnya kata remaja merupakan tahap pertumbuhan antara kanak-kanak dengan dewasa; sejuk adalah suhu diantara dingin dengan hangat.
2.2 Jangkauan   Makna Kata
           Benda, kegiatan, peristiwa, semuanya di beri label yang disebut lambang. Setiap lambang dibebani unsur yang disebut makna. Terkadang meskipun lambang itu berbeda-beda, tetapi makna lambang-lambang tersebut memperlihatkan hubungan-hubungan makna. Ambillah kata-kata, membawa, memikul, menggendong, menjinjing, menjunjung. Pertalian maknanya yakni seseorang yang menggunakan tangan, kepala atau bahunya, memindahkan sesuatu dari tempat yang satu dari ketempat yang lain. Dengan kata lain ada aktivitas. Aktivitas itu dilaksanakan oleh manusia. Pada waktu melaksanakan kegiatan digunakan anggota badan berupa tangan atau bahu. Dalam bayangan kita, ada benda yang menjadi objek kegiatan, dan kegiatan dilaksanakan dari tempat yang satu ketempat yang lain.
            Misalnya dalam kata membawa jika dianalisis makna yang tekandung di dalamnya adalah ada aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan tangan, bahu atau kepala, dan kegiatan itu dilakukan dari tempat satu ketempat yang lain. Makna yang baru disebut ini adalah jangkauan makna yang dimiliki oleh kata membawa. Jangkauan makna inilah yang disebut medan makna suatu kata. Dengan  demikian banyak kata  yang dapat dimasukkan kedalam jangkauan makna ini. Kata-kata itu dikatakan sebagai kata yang memiliki medan makna yang sama. Jadi jika kita mengambil kata, misalnya meja, maka terlihat bahwa meja tidak termasuk dalam jangkauan makna membawa. Mengapa demikian, karena kata meja tidak menyatakan makna adanya kegiatan yang berlangsung. Dan tidak ada manusia yang berurusan  dengan meja seperti halnya dengan kata membawa.
2.3 Medan Makna dalam Mansoer Pateda
Dalam hubungannya dengan medan makna  Nida 1974 dalam Mansoer Pateda (2001:225) mengatakan “sconsist essentially of a group of meanings (by no means restricted to those reflected in single word)which share certain semantic components.’’ Pada halaman yang sama Nida berkata:  ,’’semantic domain consist simpy of meaningd which have common semantic components, Bagaimana hubungan  makna termasuk dalam medan makna yang sama, bagaimana luas dan sempitnya hubungan itu, dan pada tingkat apa dalam struktur  hirarkinya dapat berfungsi, bergantung  pada keseluruhan struktur semantik suatu bahasa.
            Telah dikatakan  makna yang tercantum di atas, bahwa setiap bahasa sebagai sistem memiliki tingkat keterhubungan medan makna yang tercermin dalam lambang –lambang yang di gunakan misalnya kata rasa . kata mana saja yang menjadi anggota kata rasa  yang hubungan maknanya masih kelihatan. dengan kata lain kata rasa menjadi kata yang umum. Karena kata rasa berhubungan dengan manusia.
            Dalam beberapa hal, medan makna yang berbeda dapat di asoasikan  dengan kelas gramatikal yang sama, dalam keadaan lain , makna  yang sama dapat dilambangkan dengan bentuk dengan bentuk–bentuk gramatikal yang berbeda. Misalnya, kata cantik yang termasuk medan makna abstrak  yang kualitatif , dapat muncul sebagai adjektiva( TBBI 2010:177 “ kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat”). Hal itu terlihat pada urutan  pada kata  gadis itu cantik, dapat juga dianggap sebagai nomina( TBBI 2010:221 “nomina adalah kata benda”). Misalnya dalm urutan kata kecantikannya belim tertandingkan dan dapat juga dianggap sebagai verba, misalnya dalam kata ia selalu mempercantik diri.
            Karena medan makna merupakan kelompok kata yang saling terjalin kata-kata umum dapat mempunyai anggota yang di sebut hiponim. hal itu tebukti dengan adanya kata tumbuhan yang mempunyai hiponim bunga, durian, jagung ,kelapa,pisang ,sagu,tomat,ubi: kata binga mempunyai hiponim :asater, bugentil, kamboja, matahari, supenir, tulip. Dengan demikian deskripsi medan makna dapat saja perupa keberadaan medan makna itu sendiri, baik medan makna berdiri secara terpisah  dari medan makna yang lain maupun  medan makna yang terikat dalam hubungan dengan jaringan medan makna yang lebih luas. misalnya kata melihat yang  mampunyai medan makna sendiri, dan kata melihat di hubungkan denagn kata-kata lain, seperti menatap, menengok, menyontek, mengintip. Selain itu deskripsi medan makna dapat berupa keberadaan medan makna yang menyiratkan  stuktur dalam diri medan makna itu sendiri  yang dapat dilihat dari hubungan kata-kata yang membentuk keterkaitan makna yang dapat menghasilkan superordinat dan hiponim.
2.3.1 Hiponimi
            Kata hiponimi berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu onoma  yang berarti nama  dan hypo berarti di bawah.  Jadi secara harfiah berarti nama yang termasuk dibawah nama lain. Secara semantik Verhaar 1978 dalam Abdul Chaer (2009: 99)  menyatakan “ hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan  bagian dari makna suatu ungkapan lain”. Misalnya kata tongkol  merupakan hiponim terhadap kata ikan. Sebab kata tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Kalau relasi antara dua bua kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan. Bersinonim menurut KBBI (2008:1315) adalah “ Hubungan antara bentuk bahasa yang mirip atau sama maknanya”. Menurut Henry Guntur Tarigan (2009:14) sinonim adalah “ penggantian kata-kata”. Sedangkan berantonim/ antonimi menurut KBBI (2008:77) “ oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan misal tinggi rendah”. Menurut Henri Guntur Tarigan (2009: 29)“ antonim adalah kata-kata yang mengandung makna yang berlawanan atau berkebalikan. Dan terakhir berhomonim/homonimi dalam KKBI (2008: 506) “hubungan antara dua kata yang ditulis dan/ atau dilafalkan dengan cara yang sama, tetapi yang tidak mempunyai makna yang sama. Menrut Henry Guntur Tarigan (2008:25) “homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti serta pengertian yang berbeda”.
2.4  Teori Medan Makna
          Istilah teori medan makna atau theory of semantic field  atau field-theory berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memeiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual yang dapat dianalisis secara sinkronis, diakronis maupun paradigmatik. Teori yang semula dikembangkan oleh Herder (1772) dan Humboldt (1836) cukup mendapat perhatian dari beberapa ahli. Salah satu kajiannya adalah dari Trier (1934) dalam Aminuddin (2011:108) “bahwa dalam bahasa jerman terdapat kata kunts dan  list yang sekitar tahun 1200 memiliki makna dalam kaitannya dengan nilai etis dan nilai lain di luar etika”. Kedua kata tersebut tercakup dalam kata wisheit yang mengandung makna “ pengalaman keagamaan” .
          Toeri yang dikembangkan Trier tentang medan maknajuga memusatkan perhatiannya pada adanya asosiasi hubungan kata secara paradigmatik. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori medan makna selain berhubungan dengan masalah relasi makna kata dari periode yang berbeda, asosiasi hubungan kata secara paradigmatis sesuai dengan ciri referen dan konseptualisasinya. Juga berhubungan  dengan hubungan secara internal antara kata yang satu dengan kata yang lainnya



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
          Semantik adalah salah satu cabang linguistik atau cabang ilmu bahasa yang mengkaji atau menelaah makna. Dari berbagai fenomena kehidupan budaya dan lingkungan masyrakat yang beragam sangat berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan pentur, sehingga makna dari bahasa banyak dipengaruhi  oleh hal-hal di luar bahasa. Medan makna yang merupakan bagian dari sistem semantik adalah salah satu cara untuk menelaah berbagai bahasa yang maknanya menggambarkan ralitas kebudayaan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknyanya berhubungan.
3.2 Saran
            Saran dari penulis adalah agar kita terus belajar dan terus berfikir kritis terhadap gejala-gejala yang ada didalam kehidupan bermasyarakat, berb ngsa dan bernegara. Kita harus mampu memahami dan mengenala saja gejala yang terjadi di dalam perkembagan bahasa yang terus dipengaruhi oleh budaya-budaya yang ada, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.









DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma, Fatimah. 2009. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
Guntur Tarigan, Henry. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Guntur Tarigan, Henry. 2009. Pengajara Semantik. Bandung: Angkasa
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Sugiyono, DKK.2008.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Aminuddin. 2011. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Alwi, Hasan, Dkk.2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka