Senin, 09 Juni 2014

ANALISIS PENGGUNAAN KATA “KAMI”, “AKU” SEBAGAI KATA GANTI ALLAH DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-BAQARAH AYAT 52 DAN 30 BERDASARKAN TAFSIR IBNU KATSIR


ANALISIS PENGGUNAAN KATA “KAMI”, “AKU” SEBAGAI KATA GANTI ALLAH DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-BAQARAH AYAT 52 DAN 30 BERDASARKAN TAFSIR IBNU KATSIR

Image

NAMA                  : SITI HADIJAH
KELAS/NPM      : VIF/116210090
TUGAS                  : SEMANTIK
ANALISIS
Hal utama harus diingat ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia dan bahasa paling sukar kedua adalah Bahasa China. Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata, bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.


·      Penggunaan kata “KAMI
(QS: Al-Baqarah Ayat: 52)
ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur.

Tafsir Ibnu katsir

1. Membuat hal-hal baru dalam agama seperti (atau menyembah) الْعِجْل (al-‘ijl, patung anak lembu yang terbuat dari emas dan mengeluarkan suara melalui teknik pembuatannya) adalah suatu kesalahan besar. Tetapi sebesar-besarnya suatu kesalahan bukan berarti tidak ada pintu maaf lagi bagi pelakunya.  Pintu ampunan Allah sangat luas seluas rahmat-Nya. Sedangkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti tergambar pada doa Nabi Musa berikut ini: “Dan (wahai Tuhanku) tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami’.” (7:156) Maka walaupun Bani Israil telah mengkhianati Khalifah Ilahi pilihan Allah dan Rasul-Nya, tetapi begitu mereka kembali menyadari kesalahannya dan mengikuti kembali Khalifah Ilahi tersebut seraya meninggalkan Khalifah Duniawi hasil rekayasa Samiri, akhirnya mereka mendapatkan ampunan dari Allah. Untuk itu, Allah melarang hamba-Nya untuk berputus asa dari rahmat-Nya.
2. Yang juga menarik dicermati dari ayat ini ialah bahwa Allah menggunakan kata عَفَوْنَا (afawnā, Kami memaafkan) dan bukan غَفَرْنَا (ghafarnā, Kami mengampuni) Dan di dalam al-Qur’an, apabila bergandengan atau bersusulan, kedua kata ini tidak pernah bertukar tempat; selalu kata “memaafkan” mendahului kata “mengampuni”. Contohnya: “Mereka itulah (yang) mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (4:99) Yang bisa kita fahami dari urutan ini ialah bahwa “maaf”-Nya Allah mendahului “ampunan”-Nya. Kelihatannya, “maaf”-Nya terjadi di dunia ini, sedang “ampunan”-Nya terjadi nanti di akhirat. Artinya, dosa yang seharusnya diganjar nanti di akhirat, tapi karena “ampunan”-Nya, menjadi terhapuskan. Sementara suatu kesalahan atau pelanggaran yang seharusnya mengundang hukuman atau azab Allah di dunia ini, tapi karena “maaf”-Nya, menjadi terbebaskan (dari hukuman tersebut). Seperti kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan Bani Israil dengan merusak agama dan menyembah الْعِجْل (al-‘ijl), seharusnya menjadi penyebab mereka dihukum, tapi kemudian Allah “memaafkan” pelanggaran tersebut, sehingga mereka terbebas dari hukuman.
Jadi lawan dari “memaafkan” adalah “mengazab di dunia”, dan lawan dari “mengampuni” dalah “mengazab di akhirat”. Selain berbeda dalam hal arti dan waktu berlakunya, perbedaan lainnya ada dua. Satu, kata “memaafkan” jauh lebih sedikit dari kata “mengampuni”. Dua, perbuatan “memaafkan” selain dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga bisa dilakukan oleh manusia manapun, terutama oleh orang yang bertaqwa. “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (3:134) Sedangkan perbuatan “mengampuni” hanya bisa dilakukan oleh Allah. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (lalu) mengingat Allah, seraya memohon ampun atas dosa-dosa mereka; dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (3:135)
3. Lalu untuk apa Allah “memaafkan” kesalahan hamba-Nya yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran? Allah sendiri yang menjawab: لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [la’allakum tasykurŭwn, mudahan-mudahan (dengan begitu) kalian bersyukur]. Yaitu, semoga saja setelah menerima pembatalan hukuman tersebut para pelaku pelanggaran bisa mensyukuri pemberian maaf itu dengan kembali kepada Shirathal Mustaqĭym (Jalan yang Lurus). Karena hukuman Allah adalah hukuman yang membinasakan seperti kaum Nabi Nuh dan Fir’aun beserta bala tentaranya dihukum dengan di tenggelamkan di lautan. Maka demi menghindarkan hamba-hamba-Nya dari kebinasaan seperti itu, dengan Rahman dan Rahim-Nya, dengan Kasih dan Sayang-Nya, Allah tak henti-hentinya memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Bahkan Dia mengajari mereka doa yang sangat indah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (2:286) ini .
Analisis :

Dari tafsir ayat tersebut diketahui bahwa Allah Maha Kuasa. Sunatullah akan berlaku bagi siapapun yang takabur, dan menyombongkan diri. Selain itu pada ayat di atas ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf.
Pada dasarnya di dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata “Kami” Mungkin kita bertanya-tanya, atau mungkin kita pernah mendengar orang mempertanyakan, “Mengapa Allah menggunakan kata ‘Kami’ yang berarti jamak atau lebih dari satu?”, bahkan mungkin ada yang mengatakan “berarti itu menunjukkan Allah lebih dari satu”. Jawabannya, karena tidak ada satupun orang pada masa Rasulullah yang menganggap “Kami” yang mengacu kepada Allah di dalam Al-Qur’an sebagai sesuatu yang jamak. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) adalah biasa menggunakan bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
·      Penggunaan kata “AKU”
(QS: Al-Baqarah Ayat: 30)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Tafsir Ibnu katsir
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan). Ayat yang menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
 “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).
Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:
لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.
Analisis :

Dari tafsir ayat tersebut diketahui bahwa Allah Maha Kuasa mengambarkan posisi dan kedudukan manusia di alam ini sangat tinggi, sebagaimana yang ‎Allah paparkan masalah tersebut di hadapan para Malaikat-Nya.‎ Selain itu pada ayat di atas ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Allah menggunakan kata Aku" sebagai kata ganti orang pertama yang mengacu kepada Allah sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar