ANALISIS
PENGGUNAAN KATA “KAMI”, “AKU” SEBAGAI KATA GANTI ALLAH DALAM AL-QUR’AN SURAH
AL-BAQARAH AYAT 52 DAN 30 BERDASARKAN TAFSIR IBNU KATSIR
NAMA : SITI
HADIJAH
KELAS/NPM : VIF/116210090
TUGAS :
SEMANTIK
ANALISIS
Hal utama harus diingat ialah,
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia dan bahasa paling sukar
kedua adalah Bahasa China. Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata, bahasa arab
bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.
· Penggunaan kata “KAMI”
(QS: Al-Baqarah Ayat: 52)
(QS: Al-Baqarah Ayat: 52)
ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya: Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu
bersyukur.
Tafsir Ibnu katsir
1. Membuat hal-hal baru dalam agama seperti (atau
menyembah) الْعِجْل (al-‘ijl, patung
anak lembu yang terbuat dari emas dan mengeluarkan suara melalui teknik
pembuatannya) adalah suatu kesalahan besar. Tetapi sebesar-besarnya suatu
kesalahan bukan berarti tidak ada pintu maaf lagi bagi pelakunya. Pintu ampunan Allah sangat
luas seluas rahmat-Nya. Sedangkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti
tergambar pada doa Nabi Musa berikut ini: “Dan (wahai Tuhanku) tetapkanlah
untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali
(bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada
siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami’.” (7:156) Maka walaupun
Bani Israil telah mengkhianati Khalifah
Ilahi pilihan Allah dan Rasul-Nya, tetapi begitu mereka kembali
menyadari kesalahannya dan mengikuti kembali Khalifah
Ilahi tersebut seraya
meninggalkan Khalifah
Duniawi hasil rekayasa
Samiri, akhirnya mereka mendapatkan ampunan dari Allah. Untuk itu, Allah
melarang hamba-Nya untuk berputus asa dari rahmat-Nya.
2. Yang juga menarik dicermati dari ayat ini ialah
bahwa Allah menggunakan kata عَفَوْنَا (‘afawnā,
Kami memaafkan) dan bukan غَفَرْنَا (ghafarnā, Kami mengampuni)
Dan di dalam al-Qur’an, apabila bergandengan atau bersusulan, kedua kata ini
tidak pernah bertukar tempat; selalu kata “memaafkan” mendahului kata
“mengampuni”. Contohnya: “Mereka itulah (yang) mudah-mudahan Allah
memaafkannya. Dan adalah Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
(4:99) Yang bisa kita fahami dari urutan ini ialah bahwa “maaf”-Nya
Allah mendahului “ampunan”-Nya. Kelihatannya, “maaf”-Nya
terjadi di dunia ini, sedang “ampunan”-Nya terjadi nanti di akhirat.
Artinya, dosa yang seharusnya diganjar nanti di akhirat, tapi karena “ampunan”-Nya,
menjadi terhapuskan. Sementara suatu kesalahan atau pelanggaran yang seharusnya
mengundang hukuman atau azab Allah di dunia ini, tapi karena “maaf”-Nya,
menjadi terbebaskan (dari hukuman tersebut). Seperti kesalahan atau pelanggaran
yang dilakukan Bani Israil dengan merusak agama dan menyembah الْعِجْل (al-‘ijl),
seharusnya menjadi penyebab mereka dihukum, tapi kemudian Allah “memaafkan”
pelanggaran tersebut, sehingga mereka terbebas dari hukuman.
Jadi lawan dari “memaafkan” adalah “mengazab
di dunia”, dan lawan dari “mengampuni” dalah “mengazab di
akhirat”. Selain berbeda dalam hal arti dan waktu berlakunya, perbedaan
lainnya ada dua. Satu,
kata “memaafkan” jauh lebih sedikit dari kata “mengampuni”. Dua, perbuatan
“memaafkan” selain dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga bisa dilakukan oleh
manusia manapun, terutama oleh orang yang bertaqwa. “(Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (3:134) Sedangkan perbuatan
“mengampuni” hanya bisa dilakukan oleh Allah. “Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (lalu)
mengingat Allah, seraya memohon ampun atas dosa-dosa mereka; dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (3:135)
3. Lalu untuk apa Allah “memaafkan” kesalahan
hamba-Nya yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran? Allah sendiri yang
menjawab: لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [la’allakum tasykurŭwn, mudahan-mudahan (dengan begitu)
kalian bersyukur]. Yaitu, semoga saja setelah menerima pembatalan hukuman
tersebut para pelaku pelanggaran bisa mensyukuri pemberian maaf itu dengan
kembali kepada Shirathal
Mustaqĭym (Jalan yang
Lurus). Karena hukuman Allah adalah hukuman yang membinasakan seperti kaum Nabi
Nuh dan Fir’aun beserta bala tentaranya dihukum dengan di tenggelamkan di
lautan. Maka demi menghindarkan hamba-hamba-Nya dari kebinasaan seperti itu,
dengan Rahman dan Rahim-Nya, dengan Kasih dan Sayang-Nya, Allah tak
henti-hentinya memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Bahkan Dia mengajari
mereka doa yang sangat indah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(2:286) ini .
Analisis :
Dari tafsir ayat tersebut diketahui bahwa Allah Maha Kuasa.
Sunatullah akan berlaku bagi siapapun yang takabur, dan menyombongkan diri.
Selain itu pada ayat di atas ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat
itu Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga
kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan
mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah
mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai
Maha Pemaaf.
Pada dasarnya di dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata
“Kami” Mungkin kita bertanya-tanya, atau mungkin kita pernah mendengar orang
mempertanyakan, “Mengapa Allah menggunakan kata ‘Kami’ yang berarti jamak atau
lebih dari satu?”, bahkan mungkin ada yang mengatakan “berarti itu menunjukkan
Allah lebih dari satu”. Jawabannya, karena tidak ada satupun orang pada masa
Rasulullah yang menganggap “Kami” yang mengacu kepada Allah di dalam Al-Qur’an
sebagai sesuatu yang jamak. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit
dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) adalah biasa menggunakan
bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk
penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
·
Penggunaan
kata “AKU”
(QS: Al-Baqarah Ayat: 30)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ
فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Tafsir Ibnu katsir
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang
lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk
menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang
teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan
masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam
(pimpinan). Ayat yang menjadi dalil
wajibnya menegakkan khilafah adalah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).
Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang
beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang
memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk
mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan
kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil
Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut
Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban
menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:
لاَ
يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ
اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.
“Tidak halal bagi tiga orang yang
berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka
menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani
berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di
kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari
perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila
kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut
pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu
kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.
Analisis :
Dari tafsir ayat tersebut diketahui bahwa Allah Maha Kuasa
mengambarkan posisi dan kedudukan manusia di alam ini sangat tinggi,
sebagaimana yang Allah paparkan masalah tersebut di hadapan para
Malaikat-Nya. Selain itu pada ayat di atas ketika Allah menggunakan kata
“Aku”, Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Allah
menggunakan kata Aku" sebagai kata ganti orang pertama yang mengacu kepada
Allah sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar